Apa Cita-citamu?
Pertanyaan yang kayanya lumayan sering dilayangkan orang yang lebih tua ketika melihat anak kecil.
Ingin jadi apa?
Aku ingat saat TK aku pernah asal jawab, ingin jadi dokter. Hanya asal jawab saja. Bukan karena benar ingin, atau suka melihat pekerjaan dokter.
Aku juga ingat aku pernah ingin menjadi penjual baju di tanah abang. Tahun 90an Pasar Tanah Abang masih panas, pengap, penuh, dan sesak, mama yang dulu punya hobi jahit lumayan sering mengajakku kesana. Hal yang membuatku sangat tertarik adalah melihat bapak penjual atau ibu penjual yang berdiam ditengah tumpukan baju, sajadah, bahan atau apapun yang mereka jual. Seolah kaya... berdiam ditengah harta karun. Perasaan itu yang bisa kutangkap saat kecil. Tapi saat itu, bilang ingin jadi pedagang rasanya ada yang mengganjal, tidak bergengsi, kurang keren.
Begitulah saat itu makin ditanya cita-cita, aku semakin malas-malasan jawab. Asal sudah jawab dengan maksud biar ga ditanyain lagi.
Hari berlalu hingga suatu saat bapak membawa brosur iklan pengembang perumahan saat pulang kerja. Kudapati diriku hanyut didalamnya, membaca gambar denah rumah. Gambar baru bagi anak SD. Kuterka mana pintu, mana dinding, mana jendelanya. Kusamakan dengan bentuk gambar jadi calon rumah di iklan tersebut. Menyenangkan. Kucoba membuat tentunya dengan segala hal yang ekstravagan. Lahan yang luas, ada kolam ikan, ada lapangan basket dan semisal. Padahal contoh yang kulihat di iklan hanyalah rumah tipe 35-40. Kadang aku merasa dulu aku memang target yang sangat cocok bagi kaum kapitalis. Saat itu ya...
Jadilah aku berazam ingin jadi arsitek.
Masuk SMP, tau fisika itu bukan hal mudah. Aku sempat enggan meneruskan cita-cita yang paling lama bertengger dihati. Sempat ingin mundur dengan azam sendiri mau jadi arsitek. Masuk SMA... lebih lagi. Orang tua tidak menyetujui anaknya jadi arsitek. Jadi pebisnis. Ngerti ekonomi. Biar jadi Bos. Begitu.
Aku? Ya manut saja. Padahal saat SMA aku masuk kelas IPA hehe.
Ini masih intro.. aku belum masuk ke pembahasan yang ingin aku sampaikan.
Cita-cita.
Setelah menjadi orang tua. Ternyata pertanyaan "apa cita-citamu?" itu benar-benar kulayangkan untuk anak-anak. Baru kurasa, ternyata menjadi orang tua itu... sungguh buat penasaran apa yang ada di benak anak anak.
Hudzaifah...
Saat kecil ia ingin jadi astronot. Mungkin karena pakaian astronot yang terlihat keren. Atau... agar bisa menjawab pertanyaan yang terlontar saja.
Sama seperti saat ku kecil.
Ubaydah... usianya baru 7 tahun masih mungkin bisa berubah. Dia selalu menggaungkan ingin menjadi imam masjid di tanah haram. Sejak saat papanya mengatakan itu cita-cita yang keren. Dan setelah diceritakan tentang cerita masyhur dari syeikh as sudais.
Rumaisha... ingin menjadi penjual es krim.
Dari semua cita-cita, aku dan Atut sebagai orang tua hanya bisa memfasilitasi. Sebisanya. Semampunya. Kami selalu all out kalau terlihat anak-anak sedang mengasah bakat mereka. Tapi bukan juga habis-habisan menggelontorkan uang. ya karena memang seadanya.
Contoh ketika Dzaif mulai tertarik inkscape maka mulai ku arah ke challange2 kecil, seperti buat logo. Ikuti step by step youtuber yang kebetulan ku ikuti dulu saat mulai belajar inkscape.
Ubaydah suka masak. Maka kuikut sertakan setiap kali aku masak dirumah. Seadanya saja.
Dia juga yang paling berempati tinggi dirumah. Dia senang mendengar shirah, maka tugasku... selain membuat list tontonan shirah, ya aku bekali diriku juga dengan buku-buku. Dan ternyata, Bayd pernah bilang... shirah itu paling enak ketika diceritakan oleh mama. Artinya.. mungkin memang suara atau keadaan emosi ibu saat membacakan cerita itu terpatri di benak anak-anak.
Rumaisha, si anak gadis satu-satunya.. bangun tidur pasti buat craft. Maka, yang bisa kami lakukan adalah supply barang-barang seadanya. Double tip, Selotip, origami paper, gunting etc, diletakkan ditempat yang mudah dia jangkau.
Seperti itulah. Dulu aku sempat ngoyo ingin anak-anak ikut ini itu, tapi kemudian rasanya Allah malah sempitkan hatiku. Ketika hati mulai lapang dengan yang ada, Allah kasih kelapangan yang lebih lagi. Min fadhlillah
eh iya. Balik lagi ke cita-cita
Aku dan Atut ga berharap anak-anak jadi "Sesuatu". Aku dan Atut hanya berharap, apapun jalan yang mereka tempuh, mereka tetap bisa melaksanakan ibadah co/ Sholat 5 waktu di masjid untuk laki-laki. Itu yang utama. Mencari maisah untuk laki laki apa saja yang halal. Tanpa harus gengsi. Lakukan semampu mereka.
Dan untuk Rumaisha. Kelak dia harus tau fitrahnya sebagai wanita untuk apa.
dan perjalanan ini (aku dan Atut membekali anak-anak) masih panjang. Tanpa tau usia tutup sampai dimana. Semoga Allah jaga kami selalu
Komentar
Posting Komentar