Duduk di luar Kotak

Kalau pegiat industri kreatif berusaha untuk "think out of the box" saat buntu dalam menghasilkan karyanya. Aku pikir istilah itu bisa kita aplikasikan ke hal yang ga terkait dengan kreasi atau buat sesuatu yang baru. 

Itu bisa juga dilakukan di kegiatan sehari-hari. Terutama saat kita mulai terasa sesak menerima takdir. Saat bersyukur menjadi hal yang sulit sekali dilakukan.

Jadi..

Qodarullah kedua orang tuaku sedang sakit. Dokter bilang, untuk usia seperti mereka itu belum bisa dibilang tua namun qodarullah penyakit tersebut mereka alami di awal usia 60an. Sakit yang serius namun bila kalian melihat fisiknya, ga akan merasa se serius itu. Sakit yang awalnya ga ada yang menyangka, karena kedua orangtuaku termasuk orang yang amat menjaga asupannya, geraknya, kebersihannya dan lain-lain.

Tapi..

ternyata kehendak Allah itu yang paling berkuasa. Aku melihat banyak banget bukti kuasa Allah dari keberadaan orang tuaku. Entah kenapa dari situlah aku banyak berkaca. Banyak ucap syukur dengan keadaan rumah tanggaku saat ini.

disclaimer: mudah2an ini bukan jadi ajang untukku buka aib keluarga.

Pernah satu waktu saat aku menginap di rumah orang tua, bapak dengan keterbatasan geraknya pasca stroke, marah-marah sebelum pergi keluar kota. Karena hal sepele, yaitu tidak ada yang membukakan pintu untuk sopir yang sudah datang sedari subuh. 

Padahal bapak tau di rumah sedang tidak ada asisten, aku di toilet, Azka -adikku- sedang mandi, dan mama pendengarannya sedang terganggu. Yang beliau tidak tau bahwa Atut dan kedua anak bujangku sedang syuruq di masjid.

apa akibatnya?

Semua yang kami lakukan salah. Sendok yang diambil salah, Plastik yang diambil salah, lampu yang dimatikan salah.

"Rumah serame ini ga ada yang bangun buat buka pintu!"

sontak aku tau maksud bapak apa. Beliau kira ternyata Atut masih tidur.

Aku sempat terbawa emosi, sedikit gemetar rahang ini. Tapi biidzinillah Allah selamatkan aku dengan diam. Kuturuti semua permintaan bapak dari yang tadi dia bilang salah. (saat aku ketik ini, ternyata mataku basah hehe)

Setelah beliau dan pak sopir berangkat, kulihat mama di dapur. Beliau meneruskan masak seolah tidak terjadi apa-apa.

Lalu aku duduk di sofa ruang tengah. Kepikiran apa yang barusan aku alami.

"Apa jadinya menjadi seorang istri di dalam rumah-tangga yang isinya penuh ketegangan?"

"perihal nyari sendok saja bisa salah kalau ga sesuai dengan keinginan, belum lagi sprei bantal, botol minum, sepatu, kantung.."

Aku hampir lupa perasaan ini karena sudah lama ga tinggal serumah dan ga nginap di rumah mama bapak. Dulu lebih parah dari ini. Nyari payung kalau ga sesuai keinginannya, dia banting sampai hancur payung itu.

Balik lagi..

Aku berlanjut ke kegiatan lain. Karena asisten rumah tangga mama sedang pulang kampung, aku izin ke Atut untuk nginap di rumah mama sementara waktu. Dari ruang cuci baju aku terus mikirin hal ini. Sampe biidzinillah kepikiran hal lain di benakku, 

"Apa rasanya jadi bapak? yang mudah pusing karena hal sepele. Yang mudah marah ketika hal yang diinginkan tidak bisa didapat?"

Lalu memanjang pikiran itu ke masa laluku. Susah payah bapak sekolahkan aku sampai ke luar negeri. Sampai Indonesia, anaknya "hanya" mengurus rumah tangga. Dan bapak dengan segala kebiasaannya ga bisa nerima takdir yang ga sesuai dengan keinginannya, pasti ngerasa risau dan kesal. Apalagi melihat aku terlihat bahagia tidak serumah dengan mereka dan hidup bersama suami dan anak-anak.

Jatuhnya jadi suudzon ya

Hingga akhirnya Allah takdirkan aku keingetan suami dan anak-anak. Ternyata aku beruntung punya suami yang "hanya" seorang penjual kopi. Ternyata... selama ini ketenangan yang ada di rumahku itu surga. Ternyata... suamiku yang ga pernah protes dengan makanan, piring, baju, rumah berantakan itu rezeki besar. Laa quwwata illa billah

هَذَا مِن فَضْلِ رَبِّي

Komentar

Postingan Populer